Kefanaan Kita Diatur Allah Swt.

Kontemplasi Secangkir Kopi

Kefanaan Kita Diatur Allah Swt.
Ngopi dulu gaes
Pagi ini secangkir kopi buatan istri tercinta di hadapan saya telah habis, sedikit demi sedikit.

Betapa segelas kopi ini tak pernah dalam keadaan tetap, namun senantiasa dalam perubahan. Inilah yang disebut fana. Tidak tetap, tidak abadi. Secangkir kopi ini awalnya tiada, ada sebentar untuk diseruput, lalu kembali ke keketiadaan.

Pada sisi lain, segelas kopi ini adalah rezeki dari Allah Swt. Rezeki ini awalnya tiada, lalu hadir di hadapan saya, lalu kembali lagi tiada setelah saya memanfaatkannya. Rezeki ini juga berproses.

Secangkir kopi 'kan perpaduan antara gelas, air, kopi, gula, gas, kompor, kekuatan, kesempatan, dan lain-lain yang tergabung menjadi satu mewujud ke dalam segelas kopi. Masing-masing bahan di atas mengalami perubahannya sendiri-sendiri.

Gas alam misalkan tidak mungkin kita menambang sendiri. Kompor logam bukan kita yang membuat. Demikian juga dengan gula, gelas, dan kopi yang semuanya kita tidak tahu proses pembuatan hingga distribusinya.

Hal yang menakjubkan adalah, segala proses bahan-bahan di atas menjadi secangkir kopi yang baru saya alami ini ternyata telah diatur sedemikian rupa di Lauhul-mahfudz. Road-map atau blueprint secangkir kopi ini, percaya atau tidak, telah ada jauh sebelum Allah memulai penciptaan. Rencana Allah berproses-berjalan satu demi satu dalam pengawasan-Nya, maka dari itu Dia berfirman


    يَسْأَلُهُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِۚ كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ

    Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan. (Q.S Ar-Rahman: 29)


Segala bentuk perubahan itu adalah kefanaan, yakni bentuk-bentuk kesementaraan. Tak pernah tetap, tak pernah abadi.

Secangkir kopi itu mungkin terlampau sederhana. Kita dapat menyaksikan perubahannya. Mari skalanya diperbesar.


Kita juga telah menyaksikan perubahan umur dan kemampuan kita hari demi hari. Hal ini agak luput dari perhatian manakala dalam menjalani hidup, hati sanubari kita tertutup oleh hawa nafsu. Tahu-tahu sudah tua, tahu-tahu sudah lulus sekolah, tahu-tahu sudah akan menikah, dan sebagainya.

Kefanaan yang kita agak sulit menyaksikannya adalah proses Allah Swt. mencipta alam semesta ini dari tiada menjadi ada, lalu akan ditiadakan lagi ke dalam kehancuran. Prosesnya lama, bagi umur individu manusia yang pendek perubahan semesta akan terasa lambat.

Seolah bumi tetap di sini, bulan tetap di situ, bintang-gemintang tetap cemerlang. Padahal setiap waktu semuanya berubah, minimal berubah tempat atau bergeser dari tempatnya semula akibat rotasi, revolusi, pengaruh gaya, dan sebagainya.

Sampai nanti pada akhirnya datang kiamat manusia akan terkaget-kaget, terkejut, linglung seperti orang mabuk padahal tidak mabuk, dan segala keonaran yang ditimbulkan akibat peristiwa kiamat yang faktor alamiah sebagai penyebabnya saat ini belum diketahui--walaupun secara wahyu kita sudah dikabarkan bahwa instrumen kiamat adalah terompet Israfil.

Bagaimana tidak?

Kita belum tahu bagaimana Allah akan menggulung langit yang bagi kita megah, menghancurkan bumi yang bagi kita kokoh, dan mengganti semesta ini menjadi semesta lain di alam akhirat dan kita tak bisa kembali.

Skema kiamat dapat dibayangkan manusia mulai dari macam-macam kejadian bencana hingga potensi adanya lubang-hitam/blackhole di semesta ini. Tetapi semua itu belum dapat menggambarkan ketercerabutan semesta, secara keseluruhan, menjadi sesuatu yang lain.

Betapa pengetahuan manusia sangat terbatas, sejak awal penciptaan semesta, proses penciptaan, hingga nanti akan digulung seperti tikar dan hancur lebur. Tahu-tahu kiamat, tahu-tahu bencana. Tahu-tahu bangkit dari kubur, tahu-tahu ada surga-neraka.

Memikirkan secangkir kopi saja sudah sepatutnya kita tunduk pada kemahabesaran Allah Swt. Karena kefanaan kita ternyata diatur oleh Allah Swt. Wujud pengaturan Allah adalah dibuatnya hukum.

Hukum yang telah berjalan otomatis, terutama di alam semesta, namanya sunnatullah. Sementara hukum yang "hanya" mengatur perbuatan manusia bernama syariat. Dibalik hukum-hukum itu tersimpan hakikat, yakni hakikat semua hukum itu menunjukkan betapa Mahabesar-Nya Allah.

Karena kefanaan kita diatur oleh Allah, dan secara hakikat kita tunduk pada kemahabesaran Allah, maka sudah sepatutnya kita tunduk dan patuh kepada-Nya zahir-batin. Jika tidak tunduk, maka sudah dapat dipastikan bahwa kita ingkar atau kufur nikmat. Na'udzubillah.

Tak perlu risau, tetapi memang bentuk kufur itu bermacam-macam. Oleh karena itu penting bagi setiap muslim untuk disiplin introspeksi diri. Kata kuncinya "disiplin".

Jika hanya tunduk secara hakikat, namun mengabaikan syariat, maka kita bisa jatuh ke dalam jurang zindik. Zindik juga dapat berarti sebaliknya yakni dari sisi luar tampak taat tetapi dalam hati mengingkari ajaran agama termasuk di dalamnya kebenaran rukun iman dan rukun Islam.

Jika hanya menandai diri dalam ketataan syariat tanpa memaknai secara hakikat, kita akan masuk ke dalam jebakan kesombongan-kepongahan amal. Gak baik juga, 'kan?

Apalagi jika tidak peka terhadap hakikat-syariat, malah jatuh ke dalam lembah gelap maksiat, menganggap kemaksiatan adalah wajar dan normal, ini sudah masuk domain kufur yang sebenarnya. Ma'adzallah. Penting bagi kita untuk selalu meminta taufik dan hidayah kepada Allah.

Oleh karena itu menjadi penting dan perlu bagi kita semua untuk tunduk kepada Allah secara lahir-batin, hakikatnya dan syariatnya, serta menjauh dari maksiat.

Karena faktanya, walaupun seolah-olah dengan tunduk kepada Allah, kita menyerahkan diri kepada-Nya secara full-service, namun efeknya ternyata tetap akan kembali kepada kita. Allah akan mengganti ketaatan kita dengan rido, rahmat, dan bahkan Allah menjaminkan Dzat-Nya sendiri untuk menjadi mata, telinga, bahkan tangan dan kaki kita yang akan senantiasa bertumpu pada kebenaran. Tentu tidak boleh dimaknai secara harfiah ya.

Namun, sekali lagi sebagai warning, namun kita tidak boleh hancur ke dalam hakikat. Karena unsur material makhluk jika bertemu Dzat Allah akan binasa sebagaimana yang diungkap Jibril dalam mikraj Nabi Muhammad. Wujud kehancuran itu adalah kita melupakan kefanaan kita di dunia. Bahwa syariat itu juga ternyata adalah ketentuan Allah, bagian dari keagungan Allah, kita tidak diperkenankan meremehkannya. Sama sekali.

Kita memang fana, tetapi kita tidak boleh larut dalam kefanaan. Dunia memang fana, tetapi kita tidak boleh larut dalam gemerlap dunia fana. Diabnding Allah, kita memang lemah. Kelemahan itu kita gunakan untuk ketundukan.

Walaupun fana, ternyata secangkir kopi di pagi hari tetap nikmat terasa, sementara dibaliknya tersimpan kemahakuasaan Allah tiada tara. Nikmatnya kemahakuasaan Allah dalam secangkir kopi.

Seruput dulu kopinya, gaes.

Posting Komentar untuk "Kefanaan Kita Diatur Allah Swt."