Taat dan Maksiat Tidak Pernah Dapat Menjadi Satu
Ketetapan Allah
![]() |
Menguji kebersihan lingkungan air |
Untuk benda dan hukum alam, contohnya seperti magnet yang memiliki kutub utara-selatan; ion yang memiliki muatan positif-negatif; keadaan dingin-panas dan penyalurannya (termodinamika); gaya nuklir kuat-lemah; berat-ringan; dan segala sifat yang terhimpun untuk menyifati semesta bisa dipastikan memiliki pasangan. Absennya salah satu pasangan atau gaya dapat menyebabkan ketidakseimbangan yang berujung malapetaka. Seperti keadaan bom atom yang meledak akibat kestabilan partikel atomnya terganggu.
Contoh berpasangan di alam secara biologis seperti adanya pasangan kode-kode genetika; pasangan kromosom yang membentuk identitas gender; pasangan laki-laki-perempuan; pembuahan putik-serbuk sari; hubungan antara mangsa dan pemburu yang membentuk rantai makanan; keseimbangan ekologis biologis yang terjadi di darat, laut, dan udara dan lain sebagainya. Semua itu menandakan tidak ada tidak ada yang berjalan sendiri di alam semesta ini.
Sebagaimana telah disebutkan bahhwa dalam alam semesta ini sifat yang bertentangan tidak harus saling terpisah atau saling meniadakan , termasuk aneka sifat yang terkumpul dalam diri manusia. Dalam diri manusia terhimpun segala sifat berbeda dan menunggu untuk muncul dalam bentuk sikap-sikap positif-negatif, baik-buruk, mulia-tidak mulia, indah-tidak indah, dan sebagainya. Semua sifat itu kemunculannya memiliki intensitas yang berbeda bergantung pada situasi dan kondisi yang terjadi secara lahir-batin.
Laksana Air dan Minyak
Namun demikian tetap ada juga entitas alam yang bersifat saling meniadakan, contohnya seperti materi dan antimateri. Sementara sifat immaterial yang saling meniadakan yang terjadi dalam hati manusia contohnya adalah keimanan dan kekufuran. Intensitas iman dapat berkurang, sedang intensitas kekufuran juga bisa dapat memudar. Masing-masing juga sama-sama memiliki kecenderungan bisa menguat.
Akan tetapi pertemuan iman dan kufur justru dapat saling meniadakan, faktor yang menentukan adalah kekuatan. Tergantung lebih kuat kekufurannya atau keimanan. Mengapa demikian? Karena turunan dari beriman adalah sikap taat. Sedangkan turunan dari sifat kufur adalah sikap maksiat atau durhaka.
Dus, iman dan kufur tidak dapat menjadi satu, demikian juga antara sikap taat dan maksiat. Persentuhan di antara keduanya membuahkan sikap fasiq, yakni pura-pura tidak mengetahui kebenaran. Kebalikan dari sikap fasiq adalah zindiq, yakni bersikap taat namun dalam hati mengingkari.
Persentuhan yang membentuk sifat zindiq dan fasik ini ada pada sisi luar garis keimanan dan kekufuran saja. Keadaan sikap zindiq dan fasiq sebenarnya sangat jelas. Karena keimanan pasti menarik diri ke arah kebaikan yang bertambah baik, sementara kekufuran akan menarik diri ke arah kerusakan yang semakin merusak.
Apabila iman dan kufur bersatu, maka sangat mudah bagi iman untuk hancur akibat kekufuran tersebut. Sementara kekufuran tidak serta merta dapat diperbaiki oleh hadirnya iman. Layaknya tanaman berharga, merusak iman tentu lebih mudah daripada merawat atau mendapatkannya. Sementara tanaman yang sudah terlanjur rusak tentu akan lebih sulit dipulihkan kembali.
Gambaran lain hubungan antara iman dan kufur adalah persis seperti keadaan air dan minyak yang tak akan pernah bersatu meskipun keduanya bertemu dalam satu belanga yang sama. Laksana jernihnya air, ketaatan yang dituangkan minyak kekufuran ke atasnya pasti akan mengotori iman meski sedikit. Sementara minyak yang terus dituangi air lambat laun justru dapat membersihkannya. Ketaatan bisa membersihkan kekufuran, sementara maksiat sebaliknya dapat menggerogoti iman serta menutup hati dengan jenuh jelaga kufur.
Setiap jiwa pasti telah dianugerahi kemampuan naluriah untuk dapat memilah jalan kedurhakaan atau terus menerus menapaki jalan takwa sepanjang hidup. Demikian juga telah jelas bahwa berkat hadirnya Islam maka kebenaran menjadi terang benderang, dan gelapnya kebatilan menjadi sirna. Yakni kebenaran yang datang dari Allah SWT.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَقُلْ جَاۤءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ ۖاِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوْقًاKatakanlah, “Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap.” Sesungguhnya yang batil itu pasti lenyap. (Al-Isrā' [17]:81)
وَنَفْسٍ وَّمَا سَوّٰىهَاۖdan demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)-nya,فَاَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَتَقْوٰىهَاۖlalu Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya,قَدْ اَفْلَحَ مَنْ زَكّٰىهَاsungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu)وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسّٰىهَاۗdan sungguh rugi orang yang mengotorinya. (Asy-Syams [91]:7-10)
Kebatilan yang hancur yakni kebatilan dalam meyakini kesesatan sebagai kebenaran, dan kebenaran adalah menurut pendapat pribadi masing-masing orang. Islam meluruskan bahwa ukuran kebaikan dan kebenaran ditentukan oleh Allah Swt.
Secara teknis keadaan jiwa yang taat dan maksiat dalam diri manusia dapat dibolak-balik dengan mudah oleh Allah Swt. Instrumen untuk menyesatkan manusia akan diserahkan oleh Allah kepada para setan yang terkutuk dengan membiarkan setan menguasai diri.
Sementara petunjuk Allah sebenarnya dapat diakses secara mudah karena senantiasa tersemat di alam semesta dengan ketepatan pengaturan yang presisi oleh para malaikat. Kunci pergantian taat dan maksiat ada dalam diri manusia, yakni berupa niat apatah ia mau menjadi pribadi yang baik atau larut menuruti nafsu semata.
Hidayah akan mendekatkan diri manusia pada keinsyafan, sementara keraguan yang dipupuk dan iman yang tidak dirawat hingga dikuatkan akan menjerumuskan manusia dalam jurang ketersesatan.
Insyaf dapat membalik keadaan maksiat menjadi taat, sementara keadaan sesat justru membalik kebaikan menjadi keburukan. Ada banyak variabel yang dapat mendekatkan manusia pada keinsyafan atau sebaliknya ketersesatan.
Perilaku taat dapat membentuk diri yang bahagia secara hakiki lahir-batin, sementara maksiat mendistorsi makna bahagia menjadi hanya kenikmatan yang bersifat jasmani semata dan kebahagiaan semu yang jelas cepat rusak, korosif, palsu bahkan seringkali hanya kesenangan semu. Keinsyafan diri dapat membuahkan ketaatan, sementara kesesatan menumbuhkan kemaksiatan.
Larut dalam maksiat seperti bersenang-senang dengan minuman keras dan narkoba justru hanya akan merusak diri; berzina merusak sisi kemanusiaan, melukai harkat, dan merendahkan derajat. Melanggar hak orang lain sudah barang tentu melukai keadilan.
Jangankan mengerjakan kemaksiatan di atas yang jelas merupakan dosa besar, meninggalkan perintah ibadah wajib--seperti salat--dapat memperburam mata hati. Karena mengingkari perintah otomatis telah berbuat maksiat. Karena pengertian maksiat adalah perbuatan mendurhakai ketentuan Allah Swt.
Selain seperti yang telah disebutkan, sikap fasik juga dapat menggelapkan mata hati, memalingkan diri dari kebenaran, dan membawa sikap suka membenarkan 'kebenaran diri sendiri' yang sudah jelas tercela dalam kehidupan kemanusiaan. Membenarkan kebaikan diri sendiri berarti bersikap egois, sikap yang merusak tatanan pribadi dan sosial karena mengesampingkan manusia lain, suka menuding, dan hanya memandang diri sendiri.
Preseden Ketaatan Iblis
Tidak dapat dimungkiri juga bahwa manusia tidak bisa dalam keadaan taat terus-menerus. Sepanjang berjalannya roda kehidupan pasti ia akan mengalami sesekali ketergelinciran, meskipun tidak untuk dosa-dosa besar. Saat manusia merasa paling taat justru sebaliknya ia telah masuk ke sisi gelap yang menjadi sisi terdalam dari maksiat, yakni merasa hakikat diri sudah benar bahkan suci.
Hamba Allah Swt. memang memiliki kewajiban menyucikan diri lahir-batin terus menerus selama hidup, tetapi diri yang merasa telah suci justru sebaliknya begitu dibenci oleh Allah Swt. Karena dengan merasa suci berarti ia telah memuji diri sendiri yang dengan kata lain telah bersikap sombong, sementara kemahasucian hanya milik Allah Swt.
Sikap merasa paling suci ini juga yang membuat Iblis laknatullah terpental dari rahmat Allah, dari hamba yang paling taat beribadah menjadi hamba yang paling terkutuk. Ironi, bukan? Ironi Iblis ini terjadi karena menentang perintah Allah untuk menundukkan diri sujud hormat kepada Adam. Menolak perintah Allah berarti telah berbuat durhaka alias telah berlaku maksiat.
Keberanian Iblis untuk durhaka karena sudah merasa dirinya hamba paling suci dan berhak menyimpulkan hingga mengoreksi perintah Allah. Sikap durhaka Iblis itu telah melangkahi keagungan Allah, walaupun sebenarnya keagungan-Nya tetap tidak pernah terlangkahi.
Karena Allah adalah Maharaja yang sekaligus Mahabenar dan Mahaagung, menentang perintah Allah tentu saja merupakan sebuah kesalahan fatal. Apalagi jika dibandingkan dengan rahmat Allah yang selalu tercurah dan tidak pernah berhenti kepada makhluk-Nya.
Pantas saja bagi orang yang menentang perintah Allah untuk mendapatkan murka. Maka laknat Allah pun menimpa Iblis dan tak ada satu pun yang dapat menolongnya, sementara Allah tak berkenan mencabut murka-Nya atas Iblis sepanjang tidak mau menuruti perintah Allah Swt.
Oleh karena itu menjadi penting kiranya menegaskan keimanan dengan melakukan ketaatan atas perintah dengan sikap rela hati, serta menjauhi garis larangan Allah lahir-batin dalam kegiatan sehari-hari. Ketaatan dapat mengikis maksiat jika dan hanya jika disertai dengan ketundukan diri kepada Allah. Ketaatan yang tidak disertai ketundukan dapat menuai langkah offside seperti pengalaman Iblis.
Konsisten dalam Taat
Maksiat bukanlah akhir dari rahmat Allah, jika mau segera bertaubat. Taat juga bukan jaminan rahmat Allah jika merasa diri paling suci, untuk mengakhirinya juga perlu segera bertaubat. Orang yang dekat kepada jaminan keselamatan adalah orang-orang penyabar yang dengan teliti meniti diri tetap dalam keadaan taat dan jauh dari maksiat secara istiqamah setiap hari dengan hati yang tak pernah berhenti takut dan berharap yang hanya tertuju kepada Allah SWT. Allahu a'lam.
Posting Komentar untuk "Taat dan Maksiat Tidak Pernah Dapat Menjadi Satu"
Posting Komentar